Selasa, 29 April 2014

ANALISIS PENYEBAB DAN AKIBAT PERBEDAAN REALISASI DENGAN ANGGARAN

Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara merupakan rencana keuangan tahunan pemerintahan negara yang disetujui oleh DPR. Anggaran disusun berdasarkan perkiraan atau taksiran yang telah dibuat pemerintah dengan mempertimbangkan arah dan kebijakan fiskal serta asumsi ekonomi makro Perbedaan antara angka realiasi dengan anggaran yang telah dibuat merupakan suatu hal yang wajar terjadi. Walaupun begitu, pemerintah tetap harus menganalisis penyebab terjadinya varians anggaran supaya lebih tepat dalam memproyeksikan anggaran di tahun-tahun berikutnya.

Tim Evaluasi dan Pengawasan Penyerapan Anggaran dalam Kick Off Meeting TEPPA 12 Februari 2013 menyampaikan lima permasalahan dalam pelaksanaan APBN Tahun 2012, yaitu:
1.       Perencanaan tidak matang, ditandai dengan:
a.       Pendekatan penyusunan anggaran tidak bottom up sehingga ada satker di Kementerian/Lembaga yang mendapat alokasi dana untuk kegiatan yang bukan tupoksinya;
b.      Tingginya frekuensi revisi anggaran, terutama di bulan Oktober;
c.       Penetapan target keuangan masih bersifat formalitas di mana rencana per bulan masih didasarkan pada pembagian seperduabelas alokasi anggaran kegiatan;
d.      Penyerapan anggaran menumpuk di bulan Desember.
2.       Alokasi anggaran yang masih terkonsentrasi di Jakarta
3.       Permasalahan peraturan, sistem dan munculnya kasus pidana dalam Pengadaan Barang/Jasa
4.       Proses finalisasi APBN-P yang memakan waktu, jumlah hari kerja efektif untuk menyerap anggaran hanya 22% sedangkan sisanya sebanyak 78% dihabiskan di DPR dan Kementerian Keuangan
5.       Kementerian/Lembaga belum memiliki sistem/mekanisme pengendalian untuk realisasi keuangan dan fisik/kegiatan dari hulu (identifikasi paket dan tender) sampai hilir (serah terima dengan pihak ketiga).


Dari penjelasan di atas, dapat kita lihat bahwa perencanaan anggaran di Indonesia masih memiliki banyak kelemahan dan menjadi salah satu penyebab perbedaan angka realisasi dengan anggaran.  Seringnya revisi anggaran yang dilakukan satuan kerja juga menunjukkan bahwa perencanaan anggaran yang disusun belumlah tepat dan sesuai kebutuhan di lapangan. Selain itu, penetapan APBN-P seolah menjadi tradisi rutin pemerintah setiap pertengahan tahun. Hal ini menunjukkan bahwa pemerintah belum dapat memproyeksikan anggaran secara tepat sehingga anggaran pemerintah tidak memiliki ketahanan terhadap perkembangan ekonomi yang terjadi selama tahun berjalan.

Selain kelemahan dalam perencanaan anggaran, perbedaan angka realisasi dengan anggaran dapat disebabkan hal-hal sebagai berikut:
1.       Perubahan asumsi ekonomi makro
Asumsi ekonomi makro merupakan salah satu pertimbangan utama pemerintah dalam penyusunan anggaran. Asumsi ekonomi makro mencakup pertumbuhan ekonomi, inflasi, nilai tukar rupiah, suku bunga SPN 3 bulan, harga minyak mentah Indonesia, serta lifting minyak dan lifting gas. Sayangnya, asumsi ekonomi makro yang dibuat pemerintah terkadang belum cukup memproyeksikan perubahan-perubahan kondisi eksternal yang menjadi dasar asumsi.
·         Tidak tercapainya target realisasi penerimaan perpajakan tahun 2012 yang disebabkan terjadinya perlambatan pertumbuhan ekonomi akibat krisis ekonomi global yang menyebabkan berkurangnya permintaan komoditas, turunnya harga komoditas dan menurunnya perumbuhan ekspor yang mempengaruhi pajak sektor industri pengolahan
·         Kenaikan harga minyak mentah Indonesia dan kurs dollar menyebabkan kenaikan realisasi belanja subsidi tahun 2012 terutama dalam subsidi listrik dan subsidi BBM jenis premium, solar, dan LPG.
2.       Keterlambatan penyampaian Dokumen Pelaksanaan Anggaran (DIPA) kepada satuan kerja
Terlambatnya proses distribusi DIPA kepada satuan kerja yang bersangkutan menyebabkan satuan kerja tersebut tidak dapat segera melakukan pengadaan barang dan jasa karena belum diperbolehkan melakukan pencairan dana. Akibatnya proses pengadaan menjadi tertunda dan menimbulkan risiko tidak terealisasinya program yang telah direncanakan.
3.       Tidak relevannya satuan biaya yang digunakan dalam penganggaran
Perkembangan ekonomi makro dan adanya kejadian-kejadian istimewa seperti bencana alam dan kelangkaan komoditas dapat mendorong terjadinya kenaikan harga. Akibatnya satuan biaya yang digunakan dalam penganggaran tidak relevan dengan keadaan sesungguhnya sehingga dapat menyebabkan kenaikan realisasi belanja.
4.       Adanya tumpang tindih peraturan antar instansi atau kementerian
Terdapat beberapa peraturan yang telah dikeluarkan oleh suatu kementerian/lembaga bertentangan dengan kementerian/lembaga lain. Akibatnya satuan kerja mengalami kebingungan dan keragu-raguan dalam melaksanakan kegiatannya sehingga terpaksa melakukan penundaan pelaksanaan kegiatan. Akibatnya realisasi anggaran menjadi tidak sesuai dengan perencanaan. Contoh peraturan yang sering bersinggungan adalah pertambangan dengan lingkungan hidup, perdangan dan perindustrian dengan pertanian, dan sebagainya.
5.       Kendala pelaksanan pengadaan barang dan jasa
Sebagaimana dijelaskan sebelumnya, banyaknya kasus pidana di bidang pengadaan barang dan jasa merupakan salah satu permasalahan pelaksanaan anggaran yang terjadi di Indonesia. Pemerintah tentu harus meningkatkan pengawasan terhadap proses pengadaan untuk menghindari terjadinya kecurangan. Akan tetapi hal ini menyebabkan  kewaswasan dan ketakutan pada panitia pengadaan maupun kuasa pelaksana anggaran, terutama dalam belanja modal, sehingga proses pengadaan barang/jasa menjadi terhambat.
6.       Kebijakan pemerintah pusat
Pada pertengahan tahun 2012, Presiden Republik Indonesia mengeluarkan Instruksi Presideng Nomor 7 Tahun 2012 terkait langkah-langkah pengendalian belanja pemerintah pusat. Instruksi tersebut diluarkan dalam rangka mengurangi dampak risiko fiskal atas penetapan APBN-P. Kementerian negara/Lembaga diinstruksikan untuk melakukan pengehematan anggaran dan penundaan anggaran kompensasi yang telah dialokasikan. Akan tetapi pada akhir tahun kementerian/lembaga diinstruksikan untuk memaksimalkan penyerapan anggaran. Waktu yang tersedia sudah tidak memungkinkan lagi, sehingga realisasi tidak dapat maksimal.
7.       Sanksi penundaan penerbitan SP2D akibat ketidakdisiplinan satuan kerja melakukan rekonsiliasi
Dalam rangka pengawasan pelaksanaan anggaran, satuan kerja pengguna anggaran diwajibkan menyampaikan laporan keuangan setiap bulan sebagai bahan rekonsiliasi ke KPPN berupa Laporan Realisasi Anggaran, Neraca, dan Arsip Data Komputer, selambat-lambatnya tujuh hari kerja setelah bulan bersangkutan berakhir. Akan tetapi, masih banyak satuan kerja yang tidak disiplin dan terlambat melakukan rekonsiliasi. Berdasarkan Perdirjen Perbendaharaan Nomor PER-02/PB/2006 sebagaimana yang telah diubah dengan Perdirjen Nomor 19/PB/2008, satuan kerja yang terlambat melakukan rekonsiliasi dikenai sanksi penundaan penerbitan SP2D atas SPM yang diajukan oleh satuan kerja dengan pengecualian terhadap SPM belanja pegawai, SPM-LS, dan SPM Pengembalian. Hal ini dapat menyebabkan keterlambatan penyerapan anggaran.
8.       Rencana penyerapan anggaran belanja belum terproyeksi dengan baik
Satuan kerja belum melakukan perencanaan penyerepan anggaran dengan baik. Perencanaan yang dibuat cenderung bersifat formalitas saja dan tidak mencerminkan rencana penyerapan sesungguhnya sehingga satuan kerja tidak memiliki pedoman kapan untuk melakukan penyerapan anggaran secara tepat.
9.       Tidak terlaksananya proyek yang direncanakan
Ada kalanya beberapa proyek yang telah direncanakan pemerintah menemui kendala dan tidak dapat direalisasikan pada tahun anggaran berjalan. Akibatnya dana yang telah disediakan dalam APBN tidak direalisasikan. Contohnya Belanja Hibah pada APBN 2012 terealiasi sebesar 4,19% karena tidak terlaksananya proyek MRT Pemerintah DKI Jakarta.
10.   Perubahan peraturan terkait penerimaan negara
Kebijakan terkait perubahan tarif serta intensifikasi dan ekstensifikasi pajak dapat mempengaruhi realisasi penerimaan negara. Misalanya pada tahun 2012, walaupun tidak mencapai target realiasi, penerimaan perpajakan mengalami peningkatan dari tahun 2011 karena adanya kebijakan registrasi ulang PKP, sensus pajak nasional, kenaikan tarif cukai hasil tembakau dan efektifitas peredaran Minuman Mengandung etil alkohol serta kebijakan lain.
Perbedaan realisasi anggaran dapat membawa dampak positif maupun negatif. Misalnya saja dalam realisasi perpajakan yang melampaui target, tentu saja hal ini merupakan hal positif bagi pemerintah karena dapat menutupi belanja tanpa perlu mencari sumber pembiayaan lain. Akan tetapi, pemerintah tetap harus menelusuri penyebab kenaikan realisasi tersebut apakah karena semakin efektifnya peraturan perpajakan atau karena adanya kesalahan perhitungan pajak. Begitu pula dalam belanja pemerintah, kurangnya realisasi belanja dapat disebabkan adanya efisiensi belanja atau justru adanya program pemerintah yang tidak terlaksana. Jika penyebabnya adalah program yang tidak terealisasi, maka hal ini akan berdampak buruk pada roda ekonomi bangsa.
Perbedaan angka realisasi dengan anggaran dapat menimbulkan dampak-dampak sebagai berikut:
1.       Bertambahnya utang negara
Ketika realisasi belanja melebihi pagu anggaran yang ditentukan sementara realisasi penerimaan tidak mengalami kenaikan atau justru kurang dari target realisasi, maka pemerintah harus mencari sumber pembiayaan lain melalui utang. Hal ini tentu akan berdampak pada kenaikan pembayaran bunga ataupun cicilan pokok utang di tahun anggaran berikutnya.
2.       Tidak tercapainya program pemerintah
Ketika realisasi penerimaan kurang dari yang direncanakan sementara pemerintah tidak mendapatkan sumber pembiayaan yang lain, maka pemerintah seringkali menginstruksikan penghematan dan pemotongan anggaran kepada kementerian/lembaga. Hal ini akan mengakibatkan tidak tercapai ataupun tertundanya program pemerintah yang telah direncanakan.
3.       Dampak negatif pada pertumbuhan ekonomi
Belanja pemerintah merupakan salah satu sumber utama penggerak perekonomian. Rendahnya realisasi anggaran belanja pemerintah menyebabkan total pembentukan modal atau investasi sebagai salah satu pendorong atau stimulus pertumbuhan ekonomi berkurang. Hal ini dapat menyebabkan berkurangnya  peluang penyediaan tenaga kerja dapat terhambat.
4.       Adanya dana menganggur
Melalui penyusunan anggaran, pemerintah telah memperkirakan pengeluaran yang mungkin terjadi di tahun anggaran berikutnya dan juga melakukan proyeksi pembiayaan. Dana yang tidak dibiayai dari penerimaan negara biasanya berasal dari utang dan telah disediakan di awal tahun anggaran. Apabila sampai akhir tahun anggaran realisasi belanja jauh dari target, itu berarti ada dana menganggur yang tidak digunakan. Padahal dana yang disediakan dari utang pemerintah harus dibayar kembali ditambah bunga yang telah ditentukan. Dengan kata lain, pengelolaan anggaran yang dilakukan pemerintah tidak efektif dan justru mengarah pada pemborosan.


Daftar Pustaka
Abdullah, Syukriy. 2012. Varians Anggaran Pendapatan dan Varians Belanja Daerah – Sebuah Pengantar. http://syukriy.wordpress.com/2012/10/16/varians-anggaran-pendapatan-daerah/ (diakses pada 1 Februari 2014)

Kementerian Keuangan. 2012. Keterangan Pers: Perkembangan Perekonomian Terkini dan Pokok-Pokok Perubahan APBN Tahun Anggaran 2012.

Kuncoro, Haryo. 2008. Jurnal Manajemen Teori dan Terapan Tahun 1, Nomor 2. Variansi Anggaran dan Realisasi Anggaran Belanja Studi Kasus Pemerintah Daerah Provinsi DKI Jakarta. Jakarta: Universitas Negeri Jakarta

Kurniawan, Akbar Tri .2012. Defisit Anggaran Naik, Pemerintah Tambah Utang. www.tempo.co/read/news/2012/02/28/087386927/Defisit-Anggaran-Naik-Pemerintah-Tambah-Utang (diakses pada 1 Februari 2014)

Slide presentasi Tim Evaluasi dan Pengawasan Penyerapan pada Anggaran kick off meeting 12 Februari 2013 (diunduh di http://www.dephut.go.id/uploads/files/Data%20Evaluasi%20Realisasi%20Belanja%202012-Percepatan%20Anggaran%202013.pdf)

Laporan Keuangan Pemerintah Pusat Tahun 2012 (Audited)


Laporan Keuangan Pemerintah Pusat Tahun 2011 (Audited)

1 komentar:

  1. Padahal kalo diliat dari proses penyusunan Apbn, penetapan anggaran itu sudah gabungan dari top down bottom up lho. Terus di awal biasanya kan KL juga minta banyak, kita kasihnya kadang lebih sedikit. Kecuali kalo memang ada tambahan khusus dari dpr semacam dana optimalisasi itu. Kalo diliat dari sini, jadi semestinya perlu dana optimalisasi gak sih? Apa dpr nya yg terlalu memaksakan kegiatan, ato jg KL nya yg kurang siap dapat tugas mendadak..
    Terus lagi tentang apbn-p, belakangan apbnp dipercepat, bisa jd mulai diproses dari maret atau april. Bahkan belum satu semester pun uda revisi, nambah lagi permintaan belanja.. Yg nanti jg ga habis.

    Btw tapi penilaian dr realisasi apbn yg sekedar diliat dr sisa uang yg tidak terealisasi itu gak pas di jaman yg katanya PBB

    BalasHapus

Silahkan berkomentar